SINOPSIS
I’ve been
livin’ for the moment
But I just can’t’
have my way
And I’m afraid
to go sleep
Cause
tomorrow is today
—Tomorrow is
Today, Billy Joel.
Anda mungkin pernah mendengar potongan lirik lagu Tomorrow is Today yang dinyanyikan oleh
Billy Joel itu. Namun, Anda mungkin belum tahu latar belakangnya. Konon, Billy
Joel didera rasa frustrasi dan depresi pada hari itu dan hari esoknya.
Begitulah perjalanan seorang bintang. Di
balik bertaburannya cahaya gemerlap, Billy Joel ternyata juga mengalami
depresi, bahkan berujung bunuh diri.
Kisah pilu seperti itu tentu tak hanya dialami
seorang musisi. Dalam dunia bisnis dan pemerintahan sangat biasa kita saksikan
sikap mental inferior dan fatalistik di antara para eksekutif dan entrepreneur.
Mereka khawatir terhadap banyak hal. Berbicara dengan nada sedih, seorang
pengusaha yang pernah berjaya merespons model baru bisnis yang digerakkan
orang-orang muda, “Apa saya tutup saja semua usaha saya di sini? Pemerintah tak
peduli dengan kami. Ribuan tenaga kerja terancam.”
Perubahan itu pasti. Sayangnya tak semua orang mau
berubah, sebagian malah terperangkap dalam “masa lalu”, masa-masa emasnya yang
tak ada lagi. Ia berpikir zaman keemasan itu akan ada terus, dan bila hilang,
ia pun tetap berpikir cara lamalah yang benar.
Buku lanjutan tentang disruption ini, bukan untuk menjelaskan lagi tentang disruption itu sendiri. Penulis ingin
mengajak Anda melihat apa yang dilakukan eksekutif Indonesia yang menyadari
adanya ancaman disruption. Ancaman
yang bisa membuat mereka mati, atau minimal, kesakitan.
Alih-alih membiarkan perusahaannya mati, meski
kadang perubahan terus-menerus memicu frustrasi, sebagian dari mereka justru
merespons secara inovatif dan melakukan self
disruption. Walaupun masih banyak juga yang tanpa menyadari telah mengambil
jalan bunuh diri, terperangkap oleh masa lalunya, seperti Nokia atau Kodak.
Apa pun profesi dan latar belakang Anda, jangan
lewatkan membaca buku yang menggugah dan mencerahkan ini!
Comments
Post a Comment