oleh Deza Zakiyah
oleh Deza Zakiyah
MARWAH DALAM DUKA
Remaja..
Kisah ini melanjutkan
kisah saya di SMP, saat ini usia saya 20 tahun, dan ketika saya berumur 15
tahun saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas di daerah kabupaten
Tangerang.
Perkenalkan nama saya Marwa, seorang gadis dengan hidup aral
melintang berbalut duka selalu ia lewati. Ketika saya duduk di bangku SMP, saya
memiliki banyak teman dekat, perempuan mau pun laki-laki, saya sangat senang
menjalin pertemanan dengan siapa pun, sehingga teman saya tidak hanya di
lingkup sekolah saja, di lingkungan masyarakat tempat saya tinggal juga ada,
bahkan di sekolah-sekolah lain pun saya memiliki banyak teman. Kelulusan di SMP
pun sudah saya lewati, sama seperti remaja lainnya. Saya pun merayakan
kegembiraan bersama teman-teman terdekat saya, hanya sekadar menongkrong
bersama, tertawa sembari berangan bersama kemana kita akan melanjutkan sekolah.
Setelah melewati libur panjang, saya dan teman terdekat saya yaitu
Euis dan Bulan, daftar bersama disebuah sekolah yang sama. Sekolah ini
menyeleksi kami dengan nilai akhir rapot, dan hasilnya kami bertiga masuk di
SMA yang kami inginkan. Di awal sekolah kami mengikuti MABIS (masa bimbingan
sekolah), biasa anak baru harus mengikuti kemauan seniornya. Ya kami didandani
selucu mungkin, dan dari situlah kami mulai mengenal orang-orang baru yang
nantinya akan menjadi cerita baru di kehidupan masing-masing.
Saya, Euis, dan Bulan, masuk di kelas mabis yang berbeda-beda, dan
masing-masing dari kami tidak ada yang satu kelas. Saya sendiri masuk di kelas
yang tidak satupun orang saya kenal, saya dibimbing oleh senior saya yang
bernama ka Sanji. Orangnya santun, sangat memberikan contoh yang baik, dari
segi berpakaian, disiplin, dan mencontohkan sikap yang baik sebagai kaka kelas.
Kelas ketika saya mabis bukanlah kelas yang saya tempati nantinya ketika
pembelajaran baru dimulai. Kelas ini dibuat sengaja agar siswa-siswi baru
berkenalan dan beradaptasi dengan teman dan lingkungan baru.
Di kelas mabis ini saya memiliki teman semeja yaitu Yati. Orangnya
ramah, tubuhnya kecil dan mungil sama seperti saya, dan rumahnya searah dengan
rumah saya, ya meskipun lebih jauh rumah Yati daripada rumah saya. Kemudian
saya memiliki teman baru yang bernama Gonzes, ia terlebih dulu meminta
berkenalan dengan saya, dan ada teman semejanya Gonzes yaitu Prata.
Prata orangnya memiliki sikap yang berbeda dengan Gonzes. Jika Gonzes
seorang yang pendiam, bahkan pemalu dan ia kurang aktif dalam bergerak.
Sedangkan temannya memiliki sifat yang berbeda, Prata lebih aktif, banyak
bicara, dan bahkan malu-maluin untuk kalangan orang yang baru mengenalnya.
Di dalam kelas ketika mabis, ka Sanji meminta kami semua untuk
diam dan mendengarkan Ka Sanji menjelaskan beberapa ekskul yang ada di sekolah baru
kami. Diantaranya, ada ekskul pramuka, paskibra, pmr, musik, dan kami bisa ikut
menjadi anggota OSIS di sekolah kami. Ka Sanji pembimbing kelas kami mengikuti
ekskul pramuka, dan teman baru saya Yati memutuskan untuk mengikuti ekskul yang
sama dengan Ka Sanji.
Sebenarnya ketika saya SMP saya menjadi regu inti di sekolah saya
dalam ekskul pramuka. Namun, karena rasa keingin tahuan saya yang kuat saya
memilih untuk ikut ekskul yang lain dan bahkan saya tidak melanjutkan kemampuan
saya di bidang yang saya pernah tekuni. Pikir saya, saya ingin tahu dan mencoba
yang lain, dan keputusannya saya mengikuti ekskul paskibra.
Di hari terakhir kami mengikuti mabis, saya, Euis, dan Bulan
pulang bersama, dan seperti biasa saya numpang di kendaraan mereka, pertama karena
saya tidak bisa mengendarai motor, dan yang kedua tidak ada kendaraan yang bisa
untuk saya kendarai. Sepulang sekolah kami main ke rumah Euis yang rumahnya
tidak terlalu jauh dari rumah saya dan rumah Bulan. Kami makan bersama, dan
bercerita pengalaman kami.
“eh Marwah, lu dapat kelas apa?” kata Euis.
“gua dapat kelas X1 nih, kalian dapat kelas apa?” balas saya.
Bulan menjawab terlebih dahulu,
“aihh lu beda kelasnya sama gua wah, gua dapet kelas X5”
“lah gua juga beda nih, gua dapet kelas X3 hehehe” ujar Euis.
Kami bertiga pun tertawa
bersama karena geli sendiri, kok kami tidak ada yang satu kelas ya, padahal
angan-angan kami sudah sangat jauh, ketika kami mengerjakan tugas bersama di
satu ruang kelas yang sama, dan sudah memilih tempat duduk, kalau kami bertiga
sekelas setiap minggunya kami akan bertukar tempat duduk, minggu pertama saya
dengan Bulan, kemudian minggu selanjutnya Bulan dengan Euis, dan kemudian saya
dengan Euis. Alhasil angan hanyalah menjadi angan, kami bertiga masuk dan duduk
di kelas yang berbeda.
Keluarga Euis dan keluarga Bulan sudah sangat akrab dengan kami,
mungkin mereka menganggap kami bertiga adalah anak mereka. Selain kami bertiga,
kami sangat banyak memiliki teman dekat ketika SMP, dan kami menamakannnya
denga nama D’IVWAY, ya biasa lah anak-anak sekolah zaman sekarang. Kami
memiliki 5 orang perempuan dan 7 orang laki-laki. Kami semua berpisah ketika
kami masuk SMA, memiliki kesibukan dan teman-teman baru. Tetapi kami masih
sering berkumpul di rumah Euis, karena rumah dialah yang paling dekat dengan
rumah teman-teman kami yang lainnya.
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, keluarga Euis dan Bulan
sudah dekat dengan kami, tapi tidak sebaliknya dengan keluarga saya. Saya
selalu minder kalau bicara tentang keluarga, tapi saya akan ceritakan keluarga
saya disini karena saya berharap orang yang membaca cerita saya tidak mengenali
siapa saya. Saya terlahir dari keluarga besar yang memang dihormati dan dikenal
di kalangan tempat tinggal saya. Kakek dan Nenek saya adalah guru besar di
Yayasan MA, dan Perguruan Muhammadiya. Keluarga kami biasa disebut orang dengan
sebutan keluarga Hj. Senin. Nama itu nama uyut saya yang masih sampai sekarang
orang-orang mengenalnya.
Saya anak pertama dari ayah dan ibu saya. Saya tidak tahu apa yang
salah dengan kelahiran saya, namun kenyataannya buah cinta dari ayah dan ibu
saya ini mereka terlantarkan. Kata nenek saya, ibu saya memiliki wajah yang
cantik, kulit yang bagus dengan warna kuning langsat, rambut yang indah hitam
lurus dan sedikit bergelombang, dan rambut-rambut halus di bagian tangan dan
kaki, namun kecantikan fisik belum tentu sifatnya baik. Kata nenek, ibu saya
orang sebrang dari Sumatera sana, sifatnya pun keras, dari kepalanya sampai
hatinya pun keras. Ibu saya ini sangat pencemburu, bahkan ketika kami bertiga
tinggal di kediaman ibu saya, dan ayah kembali ketanah kelahirannya untuk
bekerja, ibu marah karena ayah meninggalkan kami.
Ketika ayah memutuskan untuk kembali ke kampung ibu di mana kami
tinggal, ibu masih belum bisa meredam amarahnya, saya pun tidak jelas betul apa
penyebab ibu marah. Namun kata nenek, ibu marah karena cemburu ayah lebih
memilih kerja di tempat pilihannya dan meninggalkan kami. Kata nenek, ibu
pernah melukai dirinya sendiri lantaran agar ayah tidak pergi lagi untuk
bekerja jauh. Inginnya ibu, ayah tetap bekerja tetapi kerjanya tetap di tempat
tinggal kami. Namun pekerjaan yang didapat oleh ayah itu berlokasi di
Tangerang, sedangkan di Sumatera ayah sulit mendapatkan pekerjaan. Di tempat
kediaman kami yang ada hanya suara nyaring dan bising prihal rumah tangga yang
nyaris tidak ada titik terang.
Sekian lama ayah menahan diri untuk tetap tinggal bersama saya dan
ibu sekitar setahun lebih, ayah memutuskan untuk bekerja dan kembali ke
Tangerang, dan apa yang terjadi, ibu marah besar, kali ini bukan hanya
melampiaskan kepada dirinya sendiri, saya menjadi lahan untuk melampiaskannya.
Kata nenek dan orang di sekeliling yang dekat dengan saya, menceritakan bahwa
saya ketika itu berumur 3 tahun, ibu marah kepada ayah karena hal yang tadi
saya ceritakan, dan ibu hendak mengakhiri hidup seorang bayi yang belum
mengerti apa-apa dengan cara mengambil bantal yang saya kenakan dan menutup hidung
saya dengan bantal tersebut. Namun saya beruntung ada paman saya yang
mencegahnya, ia langsung mengambil saya yang masih tersenyum, ketika itu
mungkin saya pikir ibu sedang mengajak saya bermain petak umpet.
Paman saya menasihati ibu bahwa saya tidak bersalah, saya berhak
hidup, jangan kau lampiaskan amarahmu pada anakmu, lampiaskan saja pada dirimu
sendiri. Ternyata Tuhan masih memberi saya hidup, saya masih bisa menghirup
udara namun tidak dengan tenang. Dilain waktu, ibu ternyata mencoba untuk
menghilangkan saya dari kehidupannya namun dengan cara yang lain, yaitu dengan
manaruh saya di dalam keranjang yang dibalut dengan selimut hangat tanpa
dekapan iba, ia melepaskan keranjang tersebut kesebuah aliran sungai yang
tenang. Tanpa air susu, tanpa pembelajaran bagaimana cara berenang, tanpa tahu
apakah saya dalam keadaan aman atau tidak. Saya yang tak berbekal apapun
kecuali selimut pemberian ibu, tertawa merasakan gelombang air yang ternyata
membawaku semakin menjauh dari ibu.
Umurku masih tiga tahun kala itu, keranjang itu terus melaju
mengikuti udara yang meniupkan kemana arah keranjangku akan sampai. Aku
memang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang keras, sehingga aku pun
bersikeras untuk tetap hidup. Setelah sekitar satu kilo dari rumah ibu, paman
yang hendak pulang ke rumah dan harus melewati jembatan yang arus sungainya
akan saya lalui ini, saya dipertemukan kembali dengan paman, namun kali ini
paman yang menunggu saya sampai ketepi jembatan yang dilaluinya. Paman miris
melihat saya, dengan sigap ia mengambil keranjang yang berisi bayi dan selimut
yang sedikit basah, ia langsung menggendong saya membawa segera saya ke
pelabuhan terbesar di Sumatera. Pelabuhan Merak di mana banyak orang dewasa dan
orang-orang sibuk di sana.
Saya tidak mengenali siapa pun, saya pun tidak mengerti kenapa
saya berada di tempat ramai seperti ini. Paman menggendong saya dengan tatapan
yang tidak tahu apa artinya, namun saya merasakan tangis dari air yang menetes
mengenai saya. Saya pikir basah itu dari selimut saya yang terpercik air
sungai, namun itu ternyata keluar dari mata yang penuh kasih nan iba dari paman
saya. Paman membelikan saya susu di sebuah kapal karena saya menangis kehausan.
Saya meneguk air susu yang diberikan paman, saya tertidur dengan waktu yang
cukup lama. Ternyata paman pergi ke tempat yang jauh, karena ketika saya
bangun, saya berada di angkutan umum dan masih dengan keramaian.
Saya rasakan beberapa kali paman naik turun berganti angkutan,
tanpa keluhan, saya tidak tahu akan dibawa kemana. Saya pikir saya akan
dikembalikan kepada ibu, kalau betul begitu, betapa jauhnya ya ibu meninggalkan
saya. Saya akan bertemu ibu lagi, melihatnya dengan jelas, mungkin nanti ketika
saya besar saya yang akan merawatnya.
Setibanya sampai, yang saya lihat bukan kerutan wajah ibu saya
rupanya, ternyata ini jauh lebih mengkerut dari wajah ibu, ini siapa bu, ibu
mana. Saya hanya pelongo memperhatikan wajah yang agak asing diingatan saya,
mungkin ini efek dari kelamaan lelahnya di jalan. Saya ditawari begitu banyak
makanan, namun saya hanya mengambil air putih, dan selalu menyebutkan kata
“jeheng” yang artinya jengkol. Makanan khas Indonesia yang memiliki bau dan
rasa yang khas. Saya rasa saya lapar, dan orang yang ada dihadapan saya
langsung memberikan joring yang saya inginkan. Saya makan dengan lahapnya, dan
menghiraukan paman yang sedang bercerita apa yang sudah terjadi pada
saya.
Paman menceritakan kepada orang-orang yang ada di hadapan saya.
Setelah saya makan dan perut saya kenyang, paman dan orang-orang ini
menghampiri saya lagi, saya pun kembali pelongo tidak mengerti dengan
orang-orang dewasa ini. Ada yang menangis, ada yang mengelus kepala saya, ada
yang menggendong saya. Paman berkata.
“dek ini nenek mu, ini bibi mu, ini paman mu,
dan ini uwa mu. Ini keluarga mu nak. Ini keluarga mu semua”. Sambil terisak
mengambil saya dari gendongan uwa saya.
Saya hanya merangkul
bahu paman, saya bertanya dalam hati, dimana ibu, paman kenapa tidak ada ibu di
sini, ayah pun tidak ada. Di mana mereka berdua paman? saya hanya bisa
menangis.
Tidak lama ayah saya
datang, langsung merangkul dan menggendong saya. Saya pun melihat wajah yang
tidak asing bagi ingatan saya. Saya bercanda dengan ayah, dan sedikit
melongo karena masih melihat-lihat dimana ibu.
“sudah tinggalkan saja dek Marwa di sini, kami
juga keluarganya, akan mengurusnya, merawatnya, menyekolahkannya. Kami tidak
tahu kalau kamu membawa Marwa pulang ke Sumatera, apa lagi yang akan terjadi
pada anak ini” kata nenek saya yang berbicara kepada paman.
“saya membawanya ke sini pun untuk menyerahkan
Marwa pada ayahnya, karena bersama ibunya saya rasa kurang tepat”. Begitulah
paman menyerahkan saya ke keluarga ayah saya.
Paman menghampiri saya
dan mengelus kepala saya yang sedang tertawa karena ayah mengajak saya
bercanda.
“dek kamu di sini ya, paman mau pulang, kamu
jangan nakal ya dek”. Paman berpamitan, sebelum ia meninggalkan saya dengan selimut
basah ini.
Itulah kisah awal saya
kenapa saya menjadi orang Tangerang dan bersekolah di sini.
Bersambung.....1
Comments
Post a Comment